Jumat, 04 Agustus 2017

Senja

Senja.

Entahlah..
Saya juga tidak terlalu paham perbedaan senja, lembayung senja atau matahari tenggelam.

Yang saya tau, saya suka melihat langit saat matahari akan tenggelam dan saat telah tenggelam.

Warnanya.

Suasananya.

Langitnya.

Cantik.

Sangat cantik.

Ah, saya terlalu bingung bagaimana menjelaskan perasaan saya ke dalam kata-kata.
Mungkin sama rasanya saat saya tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan saya terhadap orangtua dan saudara saya.

Atau memang saya yang tidak pandai berkata-kata?

Ah, sudahlah.
Yang terpenting, saya adalah penikmat dan pengagum senja.

Tetapi saya cukup sedih karena sekarang waktu saya untuk menikmati senja semakin berkurang.
Sama halnya dengan waktu bersenang-senang saya yang juga semakin berkurang.

Ah, tapi bukankah di dunia ini memang tidak ada yang abadi?
Lalu untuk apa saya mengharapkan sesuatu yang tidak abadi?
Sama halnya dengan saya yang mengharapkan kehidupan di dunia ini berjalan dengan baik,
Padahal saya sendiri tahu kalau yang harus dikejar itu adalah akhirat bukannya dunia.

Hmmmm… bukankah manusia memang egois?
Meskipun tahu benar apa yang boleh dan apa yang dilarang oleh Tuhan,
Manusia masih tetap ingin melakukan yang dilarang,
Dengan memakai tameng “penasaran” dan “ingin merasakannya”.

Jadi, apakah senja juga egois karena tidak mau membiarkan saya menikmatinya sesering dulu?
Tidak.

Karena yang egois adalah pagi dan malam.

Kenapa?
Karena mereka memberikan waktu yang sangat sedikit sekali untuk senja keluar.

Jadi, apakah saya menyalahkan pagi dan malam?
Bukankah pagi dan malam adalah ciptaan Tuhan?
Tidak. Tidak.
Bukan seperti itu..

Hmmm.. tapi manusia memang seperti itu.
Terkadang menyalahkan ciptaan-Nya.
Terkadang malah menyalahkan Sang Pencipta itu sendiri apabila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Jadi siapa yang Egois?
Jawabannya adalah saya sendiri.
Karena saya membawa-bawa manusia lainnya yang belum tentu seperti itu semua.
Saya hanya ingin mencari teman untuk kesalahan yang saya buat.
Saya ingin melakukan pembenaran dengan ikut menyalahkan orang lain.

Jadi saya orang yang jahat?
Ya. Mungkin.

Jadi alangkah baiknya jika saya dan mungkin kita semua saling intropeksi diri tanpa harus mencari kesalahan-kesalahan orang lain dan mencari pembenaran ke orang-orang untuk menunjukan kalau kita ‘benar’.
Karena seperti yang kita ketahui dengan pasti,
semua kebenaran sendiri hanya ada pada Tuhan.

Samarinda.

2016.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Nb:
Tulisan saya lainnya yang sudah saya tulis setahun lalu tapi saya baru ingat untuk mempostingnya di tahun 2017 ini. :) 
Hmmmm.. sepertinya tahun lalu saya agak mellow entah karena apa? tapi yang jelas bukan masalah percintaan tapi mungkin lebih ke masalah jati diri~

Kamis, 03 Agustus 2017

Kopi dan Gula.

Kopi pertama pagi ini………

Hmm.. saya lupa.
Saya bukan peminum kopi.
Saya tidak menyukai kopi.
Karena pahit? Mungkin.
Mungkin bagi saya, kehidupan saya sudah sangat pahit jadi tak usahlah menambah kepahitan lagi.

Tapi…
Ada kalanya saya terpaksa meminum kopi.
Kopi dengan gula yang sangat banyak.
Bahkan mungkin lebih banyak gulanya daripada kopinya.
Mungkin saya melakukannya untuk menyamarkan rasa pahit kopi dengan rasa manis gula.
Padahal saya tahu, rasa manis gula itu sesungguhnya hanyalah ilusi semata.
Iya, bagi saya gula adalah penipu ulung yang pintar menyembunyikan rasa pahit kopi.
Sama seperi sifat saya terhadap orang yang sesungguhnya saya benci.
Palsu. Iya, palsu.

Karena itu…
Saya lebih suka meminum minuman yang manis.
Tapi bukan manis yang berlebihan.
Karena gula yang terlalu banyak pun akan membuat peminumnya merasa eneg.
Sama seperti sifat saya terhadap orang yang (mungkin harus) saya hormati.
Sekedarnya saja, tidak perlu berlebihan dan terlihat seperti penjilat.

Tetapi…
Terkadang saya berpikir,
Meskipun saya tidak meminum kopi, mengapa semakin bertambahnya hari, hidup saya semakin terasa pahit?
Ah, mungkin memang saya saja yang tidak sadar jika saya sendiri yang membuat hidup saya semakin pahit.

Dan juga…
Meskipun saya menggunakan gula dengan ala kadarnya, mengapa semakin bertambahnya hari, hidup saya semakin terasa eneg?
Ah, mungkin  memang saya saja yang sebenernya tidak suka manis dan hanya menjadikannya tameng untuk menghindari rasa pahitnya kopi.
Sehingga saat menggunakan sedikit saja saya sudah merasa eneg.

Dan akhirnya saya menyadari satu hal, saya hanyalah seorang munafik besar yang selalu menganologikan kopi sebagai penambah kepahitan hidup saya apabila saya meminumnya dan menganologikan gula sebagai penetralisir pahitnya rasa kopi agar hidup saya tetap terasa manis.

Saya terlalu menyalahkan kopi dan sangat mengagungkan gula.

Padahal tanpa kopi dan gula pun hidup kita akan selalu dipenuhi rasa pahit dan manis, bukan?


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Nb:
Jujur aku suda lupa banget kalau pernah nulis ini, aku nemuin tulisan ini di folder draft tulisan-tulisan ku yang kebanyakan belum selesai. Kalau aku liat tanggal filenya sih, 11/.06/2016.
UDAH SETAHUN LALU! pantesan aja aku lupa.....................
But i was little suprised (as always) kalau aku bisa nulis tulisan model beginian. 
Ya gitu, kok bisa (mayan) keren gini yak tulisannya.  HAHAHAHA.

Sumpah demi apa banget deh lu em muji diri lu sendiri. -___-
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...